SUMSEL//PALI. svectrum.con
17 September 2025
Kalau kita bicara investasi, yang pertama dilihat investor itu sederhana yaitu apakah daerah itu stabil atau tidak? Ada kepastian hukum atau tidak? Ada tata kelola yang bisa dipercaya atau tidak? Begitu ada berita-berita buruk soal pemerintah daerah, apalagi berulang, investor langsung waspada.
Kasus di PALI misalnya. Mobil dinas Rp12 miliar lebih dibeli, sementara data BPS 2024 menunjukkan 19 ribu warganya masih miskin. Ini memberi sinyal adanya misallocation of resources yaitu alokasi anggaran tidak berpihak pada kebutuhan dasar. Kualitas infrastruktur dan kapasitas SDM juga bagian dari iklim investasi. Kalau infrastruktur dan SDM lemah maka berita negatif akan makin gampang muncul. Bagi investor, itu pertanda risiko.
Dalam literatur kelembagaan, Oates (1972) menekankan pentingnya institusi yang stabil. Kalau pemerintah tampak tidak konsisten, atau lebih sibuk dengan citra mewah daripada pelayanan dasar maka investor membaca itu sebagai institutional weakness. Akibatnya, biaya transaksi tinggi dan ketidakpastian juga tinggi.
Ada juga soal informasi. Investor dari luar tidak tahu kondisi riil. Mereka hanya membaca berita. Kalau yang muncul terus tentang berita negatif maka timbul asymmetric information. Persepsi menjadi lebih buruk daripada kenyataan. Itu cukup untuk membuat investor tunda masuk atau pindah ke daerah lain yang dianggap lebih aman.
Menurut saya, masalah di PALI bukan cuma berita. Tapi bagaimana pemerintah daerah merespon. Kalau diam saja maka berita buruk berubah jadi efek bola salju. Investor menjauh, ekonomi melemah, kepercayaan masyarakat menurun, dan masyarakat yang rugi. Tapi kalau cepat, transparan, dan terbuka dengan data maka citra bisa dipulihkan.
Di era keterbukaan, citra bukan sekadar cerita tapi modal utama. Pertanyaannya: PALI mau terus dikenal dengan berita negatif atau berani mengubah krisis ini jadi momentum perbaikan?
*Dr. Saring Suhendro, S.E., M.Si., Ak., CA*
*Akademisi Universitas Lampung, bidang Keuangan Publik* (Red/PA)