5 Juli 2025
PALI, Sumsel - svectrum.com – Bukan karena sensasi selebriti atau pertunjukan panggung politik, tapi nama Ahmad Jhoni, SP.MM kembali jadi perbincangan hangat. Pejabat yang kini menjabat PLT Kepala Dinas Pertanian dan Kepala BAPPEDA hingga tahun 2024, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir (PALI) Provinsi Sumatera Selatan, kembali terseret dalam pusaran kontroversi. Kali ini, bukan hanya karena pos ganda yang ia emban, tapi karena sorotan tajam terkait indikasi praktik tak sehat dalam pengelolaan proyek pengadaan.
Angin kencang mulai berhembus ketika surat panggilan dari Kejaksaan Negeri PALI terhadap Ahmad Jhoni bocor ke publik. Ia dipanggil untuk dimintai keterangan sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi di Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten PALI tahun anggaran 2023. Kasus tersebut berkaitan dengan kegiatan pemberdayaan industri dan peran serta masyarakat, yang kini telah menjerat dua tersangka: seorang mantan Plt Kadis dan seorang direktur perusahaan pelaksana proyek.
Namun perhatian tak berhenti di situ. Tim Pemburu Koruptor yang intens menelusuri kasus ini, menemukan benang merah yang menjalar hingga ke Dinas Pertanian yang juga berada di bawah kendali Ahmad Jhoni. Investigasi lapangan mengungkap fakta mencengangkan: dua perusahaan,
CV Restu Bumi dan
CV Ajeng Media Sabrina,
diduga menguasai lebih dari 40 paket pekerjaan pengadaan di Dinas Pertanian tahun anggaran 2024, dengan nilai total mendekati Rp 3,3 miliar.
CV Restu Bumi diketahui menggarap 18 paket proyek senilai lebih dari Rp 1,4 miliar, sementara CV Ajeng Media Sabrina mengantongi 23 paket dengan nilai mencapai Rp 1,8 miliar. Yang membuat situasi semakin rumit, kedua pimpinan perusahaan itu diketahui memiliki hubungan erat dengan Ahmad Jhoni.
Brisvo, salah satu tersangka dalam kasus Disperindag, pernah menduduki jabatan penting di Bappeda, sedangkan Aji, Direktur CV Restu Bumi, diketahui merupakan eks Tenaga Kontrak Sukarela (TKS) di lembaga yang sama.
"Ini bukan sekadar soal kedekatan personal atau relasi profesional," ungkap aktivis antikorupsi lokal, Hendri. “Ini soal sistem yang memungkinkan praktik semacam ini berlangsung—indikasi adanya persekongkolan dalam pengadaan proyek yang berpotensi melanggar hukum dan etika.”
Kepala Dinas Pertanian Ahmad Jhoni, saat dikonfirmasi, membantah tudingan monopoli. Ia menyebut bahwa proses pengadaan di dinas yang ia pimpin telah mengikuti prosedur melalui LPSE dan e-katalog. “Tiap item pengadaan memiliki spesifikasi berbeda, melibatkan berbagai perusahaan. Semua ada dalam dokumentasi BAST dan KIB Pemkab,” jelasnya.
Namun, data yang dihimpun Tim Pemburu Koruptor menunjukkan dominasi yang janggal. Jika benar ada belasan hingga puluhan perusahaan yang ikut dalam pengadaan, mengapa dua perusahaan saja bisa menguasai lebih dari 40 paket pekerjaan? Apakah ini hasil kompetisi yang sehat, atau ada pola pengondisian tender yang tertata rapi?
“Ini bukan turnamen sepak bola tempat kita bersorak untuk tim yang paling unggul. Ini adalah dugaan skenario mafia proyek, yang bekerja di balik layar, bertopeng profesionalisme dan kesejahteraan petani,” tegas Hendri.
Lebih dari sekadar angka dan nama, kasus ini memperlihatkan wajah buram dari birokrasi daerah yang rentan disusupi kepentingan pribadi. Saat satu orang menjabat dua posisi strategis dan orang-orang terdekatnya menikmati ‘kue proyek’, publik patut bertanya: benarkah pembangunan ini untuk rakyat?
Kini, sorotan tajam publik dan penegak hukum tengah mengarah ke PALI. Di tengah harapan akan tata kelola pemerintahan yang bersih dan transparan, muncul harapan agar dugaan praktik kotor ini tidak berhenti di tengah jalan. Aparat penegak hukum diminta untuk tidak hanya berhenti pada status saksi atau tersangka individu, tapi juga menggali lebih dalam akar dari sistem yang memungkinkan skenario ini terjadi.
Dan masyarakat PALI pun menunggu, sambil menghirup kopi pahit tanpa gula: akankah ini menjadi awal bersih-bersih birokrasi, atau sekadar episode lain dalam drama panjang yang belum tentu berujung keadilan? ( red)